Friday, March 2, 2007

MEMAHAMI POLITIK, SUATU PENGANTAR UNTUK STUDI AWAL


“Politics is about winners and losers, influence and coercion, exchange and bargaining, coalitions and factions, conflicts and compromise. All these topics involve individuals and groups tied together in complex relationship that defy easy disaggregation and reaggregation.”


Politik merupakan sebuah istilah yang sangat sering diungkapkan akan tetapi seringkali juga disalah artikan tentang makna dari istilah tersebut. Ketika mendengar istilah tersebut pikiran orang sudah dimuati olah berbagai macam konstruksi perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari, karena politik menyangkut interaksi yang tidak dapat diabaikan sebagaimana orang berinteraksi ekonomi guna memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Adalah benar apa yang diungkapkan oleh Robert Hucksfeldt dan John Sprague seperti diawal tulisan ini, bahwa politik merupakan sebuah “game” yang menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Akan tetapi politik tidaklah sesederhana seperti ungkapan tersebut.
Politik hadir dimana-mana, disekitar kita. Sadar atau tidak, mau atau tidak, politik ikut mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai dengan kematian, tidak peduli apakah kita ikut mempengaruhi proses politik atau tidak. Karena itulah sampai-sampai Aristoteles menyebut politik sebagai master of science, bukan dalam pengertian ilmu pengetahuan (scientific) tetapi dalam pengertian politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Penjelasan ini menyadarkan kita akan pentingnya mempelajari politik.
Kalau demikian, apakah politik itu? Setidaknya ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Secara lebih singkat Harold Lasswell mengatakan bahwa (proses) politik sebagai masalah who gets what, when, how, masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai. “Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. “Bagaimana” berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.
Berkaitan dengan hal ini David Easton merumuskan politik sebagai The authoritative allocation of values for a society, alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat. Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah ataupun menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai? Fungsionalisme mengartikan nilai-nilai sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan, kemanusiaan, kehormatan dan nasionalisme. Nilai-nilai yang bersifat konkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana perhubungan dan komunikasi dan rekreasi. Nilai-nilai yang abstrak dan konkret itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jadi, kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.
Keseluruhan proses di atas senantiasa melibatkan apa yang disebut banyak orang sebagai kepentingan umum, maka merumuskan kepentingan umum juga menjadi sesuatu yang penting. Samuel P. Huntington melukiskan kepentingan umum sebagai kepentingan pemerintah karena lembaga pemerintahan dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan bersama. Kekuasaan negara yang direpresentasikan oleh pemerintah (an) dalam menyelenggarakan proses politik dan pemerintahan tercermin dalam sistem politik suatu negara. Sejauhmana kapasitas suatu sistem dapat dilihat dari kapabelitas dari sistem tersebut.
Konteks dari sistem politik di sini adalah sistem politik demokratis yang bekerja pada suatu negara. Dalam konteks ini, institusi-institusi yang membentuk sistem politik itu terdiri paling kurang lima institusi politik, yakni pada lingkungan pemerintahan adalah Pemerintah (Eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif); pada lingkungan kemasyarakatan adalah Partai Politik dan Kelompok Kepentingan; dan media massa yang memainkan peran sebagai komunikator untuk kedua tataran institusi politik itu, maupun sebagai kontrol atas mereka.
Jika sistem politik dimengerti sebagai pengorganisasian keberadaan lembaga-lembaga politik tersebut dan kerjasama yang terjalin di antara mereka, maka kemampuan sistem politik dapat dimengerti sebagai kesanggupan lembaga-lembaga politik itu secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama merancang dan melakukan langkah-langkah efektif yang terus-menerus demi tercapainya tujuan bersama mereka. Dalam pengorganisasian seperti itu tercakup pula hubungan yang saling mempengaruhi antara satu lembaga dan lembaga-lembaga yang lain.
Dalam kaitan itu, institusi-institusi politik harus melengkapi diri dengan berbagai perangkat kelembagaan supaya dapat menjalankan peran dan fungsi masing-masing sebagai prasyarat bagi bekerjanya sistem politik. Karena itu, kelengkapan kelembagaan institusi-institusi ini bersifat kontributif terhadap kemampuan sistem politik. Output dari kemampuan sistem politik dapat dilihat dari paling tidak dalam lima hal, yaitu : extratctive capability, regulative capability, distributive capability, symbolic capability, dan responsive capability.
Dalam hal ini, kerangka pemikiran tersebut dijabarkan sebagai berikut: pertama, kemampuan dalam hal memenuhi kebutuhan keuangan baik untuk pembiayaan rutin pemerintahan maupun untuk pembangunan. Kedua, kemampuan dalam mengelola kehidupan masyarakat melalui berbagai peraturan yang mengikat. Ketiga, kemampuan membagi dan mengalokasikan sumber-sumber untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Keempat, kemampuan masing-masing lembaga politik dalam mengalirkan simbol-simbol dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Kelima, kemampuan merancang kebijakan dan merespon perubahan sikap, perkembangan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Menyadari luasnya dan besarnya kekuasaan (politik) negara/pemerintah, Montesquieu berpendapat harus ada pemisahan kekuasaan, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan hanya pada seseorang atau satu lembaga saja. Selain untuk membatasi kekuasaan negara (raja) yang cenderung absolute, juga untuk memudahkan dalam melakukan control terhadap perilaku politik negara/lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Pemisahan kekuasaan juga dimaksudkan untuk dapat mengoptimalkan peran dan fungsi dari lembaga-lembaga tersebut. Montesquieu, dengan Trias Politica-nya memisahkan kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif (pemerintah), kekuasaan legislative (parlemen) dan kekuasaan yudikatif (kehakiman).

No comments: